Rabu, 01 Februari 2012

(ber)korban

Berkorban
Sebuah kata yang memberikan tekanan
Sebuah kata pelepas tanggung jawab
Dari seseorang kepada inferiornya
Yang selalu menjadi alasan
Dan menjadi ‘bukti cinta dan kasih’ hampa
Apa yang kau dapat dari kata berkorban?
Apa yang kau persepsikan dari kata berkorban?
Seorang kekasih yang rela menghabiskan sisa hidupnya untuk memikirkan dan memuaskan hati pujaan hatinya?
Seorang ibu yang rela memberikan makanannya hari ini demi memuaskan perut anaknya?
Atau seorang guru yang rela diinjak harga dirinya demi mendidik penerus bangsa?
Bagiku, berkorban baru dapat kau katakan ketika kau tidak merelakan sesuatu namun karna tak kuasa mu, ketidakmampuanmu kau terpaksa merelakannya.
Ya, terpaksa.
Jadi, apakah ketika seseorang yang memikirkan dan berusaha untuk memuaskan hati kekasihnya itu dianggap berkorban?
Apakah ketika seorang ibu memberikan makanan terakhirnya untuk sang anak disebut berkorban?
Atau apakah seorang guru yang diinjak harga dirinya untuk mendidik termasuk dalam berkorban?
Mungkin saja.
Kita tak tahu apa yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan hal semuanya itu
Tapi, ketika ia berkata “aku telah berkorban bagi dirimu”
Ragukan cinta mereka
Ragukan ketulusan mereka akan apa yang telah mereka lakukan
Aku muak dengan mereka, orang2 yang berkata “aku berkorban”
Kalau kau memang tidak tulus melakukannya, kalau kau memang terpaksa melakukannya, jangan lakukan!
Berkorban adalah kata yang tertutur dari orang kedua dan ketiga
Sebagai bukti kekaguman akan Ketulusan orang lain
Berkorban bukanlah kata yang seharusnya tertutur oleh kamu, wahai orang pertama
Bukan oleh kamu, fakir atensi
Berkorban harusnya menjadi (ber)korban
Karena kata ini menimbulkan beban psikologis dan menimbulkan korban dari orang yang berkata “aku berkorban” namun sesungguhnya tak memberikan apa-apa
Merekalah sampah yang mengatasnamakan kasih, cinta dan ketulusan
Untuk meninggikan derajat mereka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar